Suara Demokrasi P5 Smp

Suara Demokrasi P5 Smp

Contoh Sikap Demokrasi

Sikap demokratis mencakup menghormati dan melindungi hak asasi manusia setiap individu, termasuk kebebasan berbicara, beragama, berserikat, dan mengemukakan pendapat.

Demokrasi mendorong sikap toleransi terhadap perbedaan pendapat, keyakinan, budaya, dan latar belakang. Menghargai keberagaman dan menghindari diskriminasi adalah bagian integral dari sikap demokratis.

Sikap demokratis melibatkan partisipasi aktif dalam proses politik. Ini meliputi pemilihan umum, diskusi dan debat, serta upaya untuk mempengaruhi kebijakan publik melalui kelompok advokasi atau gerakan sosial.

Dalam demokrasi, sikap demokratis adalah menerima keputusan mayoritas dalam pengambilan keputusan politik. Ini mencerminkan prinsip kedaulatan rakyat dan prinsip dasar bahwa suara mayoritas harus dihormati.

Sikap demokratis mencakup menghargai kebebasan pers dan akses terhadap informasi yang berkualitas. Ini melibatkan mengakui pentingnya pers independen dalam menyediakan informasi yang objektif dan beragam kepada publik.

Sikap demokratis melibatkan kemampuan untuk berdialog, mendengarkan pandangan orang lain, dan mencari kompromi yang memenuhi kepentingan berbagai pihak. Ini membantu membangun kesepakatan dan memperkuat proses demokrasi.

Sikap demokratis mencakup menghormati pemisahan kekuasaan antara cabang eksekutif, legislatif, dan yudikatif. Ini mencerminkan prinsip penting dalam menjaga keseimbangan kekuasaan dan mencegah penyalahgunaan kekuasaan.

Sikap demokratis melibatkan penghormatan terhadap aturan hukum dan sistem peradilan yang adil. Ini termasuk menerima keputusan pengadilan, mematuhi hukum, dan menentang perilaku yang melanggar hukum.

Fraksi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan

%PDF-1.4 %ÿÿÿÿ 293 0 obj <> stream 2018-03-11T03:46:20Z Nitro Pro 8 (8. 0. 10. 7) 2018-03-11T03:46:37Z 2018-03-11T03:46:37Z application/pdf Nitro Pro 8 (8. 0. 10. 7) uuid:2696854a-4ca9-476f-ab07-23590466e833 endstream endobj 292 0 obj <

JAKARTA — Berdiri tegak di hadapan para pendukungnya, Ganjar Pranowo tampak mengacungkan jari telunjuk, jari tengah dan jari manis kanannya ke atas. ...

JAKARTA, KOMPAS — Dua dekade menjelang 100 tahun kemerdekaan, cita-cita penyelenggaraan negara berdasarkan demokrasi substansial masih jauh dari harapan. Kendati demokratisasi telah dimulai sejak 1998, masih diperlukan perbaikan secara menyeluruh. Perbaikan itu tidak hanya pada sistem bernegara, tetapi juga dalam menciptakan aktor-aktor yang berkomitmen penuh pada demokrasi.

Apalagi, selama 10 tahun terakhir, sendi demokrasi pada berbagai lini diperlemah. Akibatnya, fungsi kontrol terhadap pemerintah tidak bisa berlangsung secara optimal. Lebih dari itu, negara pun disinyalir dikuasai segelintir elite yang berorientasi pada kepentingan pribadi atau kelompok, bukan kemaslahatan masyarakat.

"Kalau ada pembelajaran tentang proses reformasi, ternyata reformasi saja itu tidak cukup. Buktinya (sekarang) kembali full circle (lingkaran elite sebelum Reformasi 1998). Jadi, kalau mau ada reformasi betul-betul dalam konteks sistem dan orang, reformasi tidak boleh tanggung-tanggung. Saya sebut saja reformasi yang radikal,” kata Francisia Saveria Sika Ery Seda dalam diskusi dan peluncuran buku Mimpi tentang Indonesia 2 karya wartawan senior harian Kompas, Budiman Tanuredjo, di Kompas Institute, Jakarta, Kamis (12/12/2024).

Orang lupa konstitusi maknanya apa, orang lupa bahwa polisi itu tugasnya melayani dan melindungi, orang lupa bahwa pengadilan itu memberikan rasa adil.

Kompas/Danu KusworoPeluncuran dan bincang buku berjudul "Mimpi tentang Indonesia 2" karya wartawan senior harian "Kompas", Budiman Tanuredjo, di Gedung Kompas, Jalan Palmerah Selatan 28, Jakarta, Kamis (12/12/2024). Bincang buku ini menghadirkan narasumber Prof. Dr. H. Komaruddin Hidayat, M.A, Sudirman Said, Dra. Francisia Saveria Sika Seda, M.A., Ph.D serta dimoderatori Frisca Clarissa.

Ery Seda yang merupakan Guru Besar Sosiologi Universitas Indonesia itu melanjutkan, tanpa perubahan radikal pada aktor-aktor penyelenggara negara, perubahan sistem yang dilakukan sejak 25 tahun lalu tidak akan mencapai hasil yang optimal. Orang-orang yang tidak berkomitmen pada demokrasi cenderung akan merusak sistem yang telah dibuat. Oleh karena itu, perubahan pada lini aktor penyelenggara negara saat ini semestinya lebih diprioritaskan agar terjadi keseimbangan antara perbaikan struktur dan aktor dalam proses demokratisasi.

Mantan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Sudirman Said, yang turut hadir dalam diskusi itu, juga melihat ada permasalahan mendasar dalam demokratisasi Indonesia. Menurut dia, dalam 10 tahun terakhir terjadi pelemahan infrastruktur lunak demokrasi. Hampir semua lembaga yang bisa menjadi alat kontrol terhadap kinerja pemerintah dilemahkan dengan pemusatan kendali di tangan presiden.

"Hukum dihancurkan, aparat dihancurkan, seluruh instrumen kontrol dihancurkan. Teman-teman masyarakat sipil, kampus, partai politik, Parlemen, sampai BPK (Badan Pemeriksa Keuangan). Ujung-ujungnya KPK (Komisi Pemberantasan Korupsi) dihancurkan juga. Jadi, orang lupa konstitusi maknanya apa, orang lupa bahwa polisi itu tugasnya melayani dan melindungi, orang lupa bahwa pengadilan itu memberikan rasa adil,” kata Sudirman.

Kompas/Danu KusworoPeluncuran dan bincang buku "Mimpi tentang Indonesia 2" karya wartawan senior harian "Kompas", Budiman Tanuredjo, di Gedung Kompas, Jalan Palmerah Selatan 28, Jakarta, Kamis (12/12/2024).

Cendekiawan yang juga mantan Rektor Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah, Komaruddin Hidayat, melihat, persoalan dalam demokratisasi juga terjadi lantaran negara dikuasai oleh sekelompok elite. Kelompok kecil yang terdiri dari politisi dan pengusaha itu menikmati kekuasaan dan keuangan negara, kemudian membangun jejaring untuk mempertahankan itu semua demi kepentingan pribadi dan kelompok.

Kendati kekuasaan yang didapat berasal dari proses demokrasi yang didukung oleh rakyat, kemaslahatan masyarakat justru bukan orientasi mereka. Masyarakat justru menjadi obyek untuk mempertahankan kekuasaan dan keuntungan yang didapatkan. "Jadi, bangsa itu tersandera, yang menyandera siapa? Ya, elitenya sendiri. Partai politik yang semestinya menjadi sumber aspirasi juga tersumbat oleh para elite ini,” kata Komaruddin.

Dalam konteks itu, Komaruddin meyakini bahwa masyarakat sipil masih memiliki kekuatan untuk membebaskan diri dari situasi yang menyandera mereka. Apalagi, sebagian masyarakat bernaung dalam wadah besar yang terkoneksi di dunia maya atau karena kesamaan profesi. Kumpulan-kumpulan masyarakat itu bisa menjadi kekuatan besar saat mendapatkan momentum dan isu yang tepat.

KOMPAS/FAKHRI FADLURROHMANAksi unjuk rasa dari berbagai elemen masyarakat yang menolak rencana DPR merevisi UU Pilkada di depan Kompleks Parlemen, Jakarta, Kamis (22/8/2024).

Ery menambahkan, idealnya gerakan sosial memang akan menjadi jalan keluar di tengah kemerosotan demokrasi. Pada Agustus 2024, masyarakat membuktikan bahwa protes publik bisa membatalkan revisi Undang-Undang Pemilihan Kepala Daerah yang melanggar prinsip demokrasi. Akan tetapi, gerakan sosial tidak bisa diharapkan untuk muncul hanya setiap masalah terjadi, tetapi harus dirawat secara terus- menerus.

Sama halnya dengan Komaruddin dan Ery, Sudirman juga melihat pentingnya konsolidasi masyarakat sipil. Namun, tak berhenti di situ, menurut dia, kesadaran akan hakikat cabang-cabang kekuasaan negara juga harus diperkuat, salah satunya dengan cara mengamendemen konstitusi dan mengembalikan ke naskah asli UUD 1945. "Kita harus terus mendorong konsolidasi masyarakat sipil,” kata Sudirman.

Cita-cita  mewujudkan demokrasi substansial merupakan salah satu harapan yang terekam dalam buku Mimpi tentang Indonesia 2. Dalam buku kedua yang merupakan alih wahana dari siniarnya, Budiman Tanuredjo membaca pola impian tentang Indonesia menjelang usia 100 tahun pada 2045 mendatang. Impian dimaksud disarikan dari gagasan 138 tokoh yang ia wawancarai dalam beberapa waktu terakhir.

Kompas/Danu KusworoPeluncuran dan bincang buku "Mimpi tentang Indonesia 2" karya wartawan senior harian "Kompas", Budiman Tanuredjo, di Gedung Kompas, Jalan Palmerah Selatan 28, Jakarta, Kamis (12/12/2024).

Adapun buku Mimpi tentang Indonesia 2 itu berisi gagasan dari sembilan tokoh dari berbagai latar belakang. Mereka, antara lain, Mahfud MD, Andar Wibowo, Jaleswari Pramodhawardani, Ilham Akbar Habibie, dan Hermawi Taslim. Selain itu ada pula Andrinof Achir Chaniago, Melki Laka Lena, Amien Sunaryadi, dan Jimly Asshiddiqie.

Menurut Budiman, ada beberapa impian yang dimiliki hampir semua elemen masyarakat, dari mimpi soal kebinekaan, ketuhanan, kegotongroyongan, kebebasan, dan kemanusiaan. Selain itu, masyarakat juga memimpikan persatuan, keadilan, kesetaraan, kesejahteraan, dan demokrasi.

Dalam konteks demokrasi, kata Budiman, Indonesia selama ini juga masih terhegemoni oleh berbagai teori Barat untuk menjelaskan berbagai fenomena dan tren yang terjadi. Padahal, masyarakat sebenarnya juga memiliki konsep-konsep lokal yang bisa jadi lebih tepat untuk menggambarkan apa yang terjadi sekaligus suasana kebatinan bangsa, contohnya tintrim. ”Tintrim ini suasana kebatinan yang (menggambarkan) ada optimisme, di tengah kecemasan, kekhawatiran, ketidakpastian,” ujarnya.

Ia menambahkan, mimpi mengenai Indonesia yang akan menuju usia ke-100 tahun perlu diperjelas. Selama ini, negara hanya mendengungkan jargon-jargon Indonesia Emas pada tahun 2045 tanpa memiliki definisi yang pasti mengenai hal itu.

Akibatnya, mimpi atau cita-cita Indonesia hanya menjadi sekadar mitos. Padahal, Indonesia dan masyarakatnya memiliki bekal untuk merumuskan sekaligus menggapainya.

”Mimpi Indonesia ini hanyalah sebagai provokator awal agar kita bisa pikir betul soal nation state, negara bangsa ini,” kata Budiman.

JAKARTA, KOMPAS — Dua dekade menjelang 100 tahun kemerdekaan, cita-cita penyelenggaraan negara berdasarkan demokrasi substansial masih jauh dari harapan. Kendati demokratisasi telah dimulai sejak 1998, masih diperlukan perbaikan secara menyeluruh. Perbaikan itu tidak hanya pada sistem bernegara, tetapi juga dalam menciptakan aktor-aktor yang berkomitmen penuh pada demokrasi.

Apalagi, selama 10 tahun terakhir, sendi demokrasi pada berbagai lini diperlemah. Akibatnya, fungsi kontrol terhadap pemerintah tidak bisa berlangsung secara optimal. Lebih dari itu, negara pun disinyalir dikuasai segelintir elite yang berorientasi pada kepentingan pribadi atau kelompok, bukan kemaslahatan masyarakat.

"Kalau ada pembelajaran tentang proses reformasi, ternyata reformasi saja itu tidak cukup. Buktinya (sekarang) kembali full circle (lingkaran elite sebelum Reformasi 1998). Jadi, kalau mau ada reformasi betul-betul dalam konteks sistem dan orang, reformasi tidak boleh tanggung-tanggung. Saya sebut saja reformasi yang radikal,” kata Francisia Saveria Sika Ery Seda dalam diskusi dan peluncuran buku Mimpi tentang Indonesia 2 karya wartawan senior harian Kompas, Budiman Tanuredjo, di Kompas Institute, Jakarta, Kamis (12/12/2024).

Orang lupa konstitusi maknanya apa, orang lupa bahwa polisi itu tugasnya melayani dan melindungi, orang lupa bahwa pengadilan itu memberikan rasa adil.

Kompas/Danu KusworoPeluncuran dan bincang buku berjudul "Mimpi tentang Indonesia 2" karya wartawan senior harian "Kompas", Budiman Tanuredjo, di Gedung Kompas, Jalan Palmerah Selatan 28, Jakarta, Kamis (12/12/2024). Bincang buku ini menghadirkan narasumber Prof. Dr. H. Komaruddin Hidayat, M.A, Sudirman Said, Dra. Francisia Saveria Sika Seda, M.A., Ph.D serta dimoderatori Frisca Clarissa.

Ery Seda yang merupakan Guru Besar Sosiologi Universitas Indonesia itu melanjutkan, tanpa perubahan radikal pada aktor-aktor penyelenggara negara, perubahan sistem yang dilakukan sejak 25 tahun lalu tidak akan mencapai hasil yang optimal. Orang-orang yang tidak berkomitmen pada demokrasi cenderung akan merusak sistem yang telah dibuat. Oleh karena itu, perubahan pada lini aktor penyelenggara negara saat ini semestinya lebih diprioritaskan agar terjadi keseimbangan antara perbaikan struktur dan aktor dalam proses demokratisasi.

Mantan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Sudirman Said, yang turut hadir dalam diskusi itu, juga melihat ada permasalahan mendasar dalam demokratisasi Indonesia. Menurut dia, dalam 10 tahun terakhir terjadi pelemahan infrastruktur lunak demokrasi. Hampir semua lembaga yang bisa menjadi alat kontrol terhadap kinerja pemerintah dilemahkan dengan pemusatan kendali di tangan presiden.

"Hukum dihancurkan, aparat dihancurkan, seluruh instrumen kontrol dihancurkan. Teman-teman masyarakat sipil, kampus, partai politik, Parlemen, sampai BPK (Badan Pemeriksa Keuangan). Ujung-ujungnya KPK (Komisi Pemberantasan Korupsi) dihancurkan juga. Jadi, orang lupa konstitusi maknanya apa, orang lupa bahwa polisi itu tugasnya melayani dan melindungi, orang lupa bahwa pengadilan itu memberikan rasa adil,” kata Sudirman.

Kompas/Danu KusworoPeluncuran dan bincang buku "Mimpi tentang Indonesia 2" karya wartawan senior harian "Kompas", Budiman Tanuredjo, di Gedung Kompas, Jalan Palmerah Selatan 28, Jakarta, Kamis (12/12/2024).

Cendekiawan yang juga mantan Rektor Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah, Komaruddin Hidayat, melihat, persoalan dalam demokratisasi juga terjadi lantaran negara dikuasai oleh sekelompok elite. Kelompok kecil yang terdiri dari politisi dan pengusaha itu menikmati kekuasaan dan keuangan negara, kemudian membangun jejaring untuk mempertahankan itu semua demi kepentingan pribadi dan kelompok.

Kendati kekuasaan yang didapat berasal dari proses demokrasi yang didukung oleh rakyat, kemaslahatan masyarakat justru bukan orientasi mereka. Masyarakat justru menjadi obyek untuk mempertahankan kekuasaan dan keuntungan yang didapatkan. "Jadi, bangsa itu tersandera, yang menyandera siapa? Ya, elitenya sendiri. Partai politik yang semestinya menjadi sumber aspirasi juga tersumbat oleh para elite ini,” kata Komaruddin.

Dalam konteks itu, Komaruddin meyakini bahwa masyarakat sipil masih memiliki kekuatan untuk membebaskan diri dari situasi yang menyandera mereka. Apalagi, sebagian masyarakat bernaung dalam wadah besar yang terkoneksi di dunia maya atau karena kesamaan profesi. Kumpulan-kumpulan masyarakat itu bisa menjadi kekuatan besar saat mendapatkan momentum dan isu yang tepat.

KOMPAS/FAKHRI FADLURROHMANAksi unjuk rasa dari berbagai elemen masyarakat yang menolak rencana DPR merevisi UU Pilkada di depan Kompleks Parlemen, Jakarta, Kamis (22/8/2024).

Ery menambahkan, idealnya gerakan sosial memang akan menjadi jalan keluar di tengah kemerosotan demokrasi. Pada Agustus 2024, masyarakat membuktikan bahwa protes publik bisa membatalkan revisi Undang-Undang Pemilihan Kepala Daerah yang melanggar prinsip demokrasi. Akan tetapi, gerakan sosial tidak bisa diharapkan untuk muncul hanya setiap masalah terjadi, tetapi harus dirawat secara terus- menerus.

Sama halnya dengan Komaruddin dan Ery, Sudirman juga melihat pentingnya konsolidasi masyarakat sipil. Namun, tak berhenti di situ, menurut dia, kesadaran akan hakikat cabang-cabang kekuasaan negara juga harus diperkuat, salah satunya dengan cara mengamendemen konstitusi dan mengembalikan ke naskah asli UUD 1945. "Kita harus terus mendorong konsolidasi masyarakat sipil,” kata Sudirman.

Cita-cita  mewujudkan demokrasi substansial merupakan salah satu harapan yang terekam dalam buku Mimpi tentang Indonesia 2. Dalam buku kedua yang merupakan alih wahana dari siniarnya, Budiman Tanuredjo membaca pola impian tentang Indonesia menjelang usia 100 tahun pada 2045 mendatang. Impian dimaksud disarikan dari gagasan 138 tokoh yang ia wawancarai dalam beberapa waktu terakhir.

Kompas/Danu KusworoPeluncuran dan bincang buku "Mimpi tentang Indonesia 2" karya wartawan senior harian "Kompas", Budiman Tanuredjo, di Gedung Kompas, Jalan Palmerah Selatan 28, Jakarta, Kamis (12/12/2024).

Adapun buku Mimpi tentang Indonesia 2 itu berisi gagasan dari sembilan tokoh dari berbagai latar belakang. Mereka, antara lain, Mahfud MD, Andar Wibowo, Jaleswari Pramodhawardani, Ilham Akbar Habibie, dan Hermawi Taslim. Selain itu ada pula Andrinof Achir Chaniago, Melki Laka Lena, Amien Sunaryadi, dan Jimly Asshiddiqie.

Menurut Budiman, ada beberapa impian yang dimiliki hampir semua elemen masyarakat, dari mimpi soal kebinekaan, ketuhanan, kegotongroyongan, kebebasan, dan kemanusiaan. Selain itu, masyarakat juga memimpikan persatuan, keadilan, kesetaraan, kesejahteraan, dan demokrasi.

Dalam konteks demokrasi, kata Budiman, Indonesia selama ini juga masih terhegemoni oleh berbagai teori Barat untuk menjelaskan berbagai fenomena dan tren yang terjadi. Padahal, masyarakat sebenarnya juga memiliki konsep-konsep lokal yang bisa jadi lebih tepat untuk menggambarkan apa yang terjadi sekaligus suasana kebatinan bangsa, contohnya tintrim. ”Tintrim ini suasana kebatinan yang (menggambarkan) ada optimisme, di tengah kecemasan, kekhawatiran, ketidakpastian,” ujarnya.

Ia menambahkan, mimpi mengenai Indonesia yang akan menuju usia ke-100 tahun perlu diperjelas. Selama ini, negara hanya mendengungkan jargon-jargon Indonesia Emas pada tahun 2045 tanpa memiliki definisi yang pasti mengenai hal itu.

Akibatnya, mimpi atau cita-cita Indonesia hanya menjadi sekadar mitos. Padahal, Indonesia dan masyarakatnya memiliki bekal untuk merumuskan sekaligus menggapainya.

”Mimpi Indonesia ini hanyalah sebagai provokator awal agar kita bisa pikir betul soal nation state, negara bangsa ini,” kata Budiman.

Prinsip-Prinsip Demokrasi

Prinsip ini menyatakan bahwa kekuasaan politik berasal dari rakyat. Rakyat memiliki hak untuk berpartisipasi dalam pengambilan keputusan politik dan menentukan arah negara melalui pemilihan umum atau mekanisme partisipasi lainnya.

Prinsip demokrasi mengakui dan melindungi hak asasi manusia yang mendasar. Ini termasuk kebebasan berbicara, kebebasan pers, kebebasan beragama, hak untuk berserikat, hak atas privasi, hak atas keadilan, dan perlindungan dari diskriminasi.

Prinsip ini mencakup penyelenggaraan pemilihan umum secara teratur, bebas dari intimidasi atau kecurangan, dengan partisipasi yang luas, dan akses yang adil bagi semua warga negara. Pemilihan umum merupakan mekanisme penting untuk memilih wakil-wakil rakyat dan mengubah pemerintahan.

Prinsip pemisahan kekuasaan melibatkan pembagian kekuasaan politik antara cabang eksekutif, legislatif, dan yudikatif. Tujuan utamanya adalah mencegah akumulasi kekuasaan yang berlebihan di tangan satu kelompok atau individu, dan menjaga keseimbangan kekuasaan.

Prinsip ini menekankan bahwa pemerintah harus bertanggung jawab kepada rakyat. Pemerintah harus menjalankan tugasnya dengan transparansi, mengambil keputusan yang baik dan berdasarkan hukum, dan dapat dipertanggungjawabkan atas tindakan dan kebijakannya.

Demokrasi mendorong partisipasi politik yang aktif dari seluruh warga negara. Rakyat memiliki hak dan kesempatan untuk menyampaikan pendapat, menyuarakan kepentingan mereka, berpartisipasi dalam proses pembuatan keputusan, dan menjadi bagian dari kehidupan politik.

Prinsip ini menjamin perlindungan hak-hak minoritas dan memastikan bahwa suara dan kepentingan mereka dihormati. Minoritas harus memiliki kebebasan dan kesempatan yang sama untuk berpartisipasi dalam kehidupan politik dan mendapatkan perlindungan hukum yang adil.

Prinsip demokrasi menekankan pentingnya peraturan hukum yang adil dan setara bagi semua warga negara. Hukum harus berlaku tanpa diskriminasi, menjaga keadilan, dan melindungi hak-hak individu serta kepentingan masyarakat.

Demokrasi Menurut Para Ahli

Plato pernah menyampaikan gagasan mengenai demokrasi. Plato, seorang filsuf Yunani kuno, memiliki pandangan skeptis terhadap demokrasi. Menurutnya, demokrasi cenderung mengarah pada anarki dan penuh dengan kerusuhan politik. Dia percaya bahwa demokrasi bisa diambil alih oleh pemimpin populis yang tidak kompeten dan tidak bertanggung jawab.

Selain Plato Aristoteles juga pernah berargumen tentang demokrasi. Aristoteles, seorang filsuf Yunani lainnya, menganggap demokrasi sebagai salah satu bentuk yang baik dari pemerintahan, tetapi dia juga mengakui risikonya. Baginya, demokrasi yang stabil harus didasarkan pada hukum dan dilengkapi dengan mekanisme pengimbang kekuasaan yang mencegah penyalahgunaan oleh mayoritas.

John Locke, seorang filsuf politik Inggris, memandang demokrasi sebagai bentuk pemerintahan yang diinginkan. Baginya, pemerintah yang sah diperoleh melalui kontrak sosial antara pemerintah dan rakyat, di mana rakyat memberikan otoritas kepada pemerintah untuk melindungi hak-hak asasi mereka.

Rousseau, seorang filsuf Prancis, menyuarakan konsep demokrasi langsung. Dia berpendapat bahwa kedaulatan mutlak harus berada di tangan rakyat secara kolektif. Menurutnya, setiap warga negara harus terlibat dalam pengambilan keputusan politik secara langsung, bukan melalui perwakilan.

Schumpeter, seorang ekonom dan sosiolog Austria, memperkenalkan konsep demokrasi elit. Menurutnya, dalam masyarakat modern, demokrasi bukanlah partisipasi langsung semua warga negara, tetapi kompetisi antara kelompok-kelompok elit yang bersaing untuk memenangkan pemilihan.

Dahl, seorang ilmuwan politik Amerika Serikat, memandang demokrasi sebagai sistem politik di mana keputusan politik dibuat melalui persaingan terbuka dan inklusif di antara semua warga negara yang memenuhi syarat. Baginya, demokrasi yang baik harus melibatkan partisipasi politik yang luas, kebebasan berbicara, hak untuk berserikat, serta perlindungan hak minoritas.

Demokrasi mengakui kedaulatan rakyat sebagai sumber utama kekuasaan politik. Rakyat memiliki hak untuk berpartisipasi dalam pengambilan keputusan politik melalui pemilihan umum atau mekanisme partisipasi lainnya.

Demokrasi melibatkan pemilihan umum yang bebas dan adil, di mana warga negara memiliki hak untuk memilih wakil-wakil mereka dalam lembaga-lembaga pemerintahan. Pemilihan harus dilakukan secara teratur dan transparan.

Demokrasi mendasarkan pada pengakuan dan perlindungan hak asasi manusia. Hal ini termasuk kebebasan berbicara, kebebasan pers, kebebasan beragama, hak untuk berserikat, hak atas privasi, dan keadilan hukum.

Demokrasi memungkinkan adanya keberagaman pandangan politik dan ideologi. Rakyat memiliki kebebasan untuk menyatakan pendapat, berdebat, dan berpartisipasi dalam proses politik. Partai politik dan kelompok kepentingan berperan dalam kontes politik.

Prinsip pemisahan kekuasaan antara cabang eksekutif, legislatif, dan yudikatif adalah ciri penting dalam demokrasi. Tujuan pemisahan kekuasaan adalah untuk mencegah penyalahgunaan kekuasaan dan memastikan keseimbangan kekuasaan.

Pemerintah yang demokratis bertanggung jawab kepada rakyatnya. Transparansi dalam pengambilan keputusan dan akuntabilitas pemerintah terhadap rakyat merupakan prinsip penting dalam demokrasi.

Demokrasi melindungi hak-hak minoritas dari penindasan oleh mayoritas. Hak-hak minoritas harus diakui dan dihormati, termasuk hak-hak kelompok etnis, agama, dan budaya.

Demokrasi didasarkan pada peraturan hukum yang berlaku secara merata bagi semua warga negara. Hukum harus adil, jelas, dan diterapkan secara independen oleh sistem peradilan yang bebas.

Demokrasi bertujuan untuk memberikan kekuasaan politik kepada rakyat sebagai pemegang kedaulatan. Rakyat memiliki hak untuk berpartisipasi dalam pengambilan keputusan politik dan memilih wakil-wakil mereka dalam pemilihan umum.

Demokrasi bertujuan untuk melindungi dan menghormati hak asasi manusia, termasuk kebebasan berbicara, kebebasan pers, kebebasan beragama, hak untuk berserikat, hak atas privasi, dan keadilan hukum.

Demokrasi berupaya menciptakan masyarakat yang adil, di mana semua warga negara memiliki kesempatan yang sama untuk berpartisipasi dalam kehidupan politik, ekonomi, dan sosial. Demokrasi juga mendorong pengurangan kesenjangan sosial dan pemenuhan kebutuhan dasar rakyat.

Prinsip pemisahan kekuasaan dalam demokrasi bertujuan untuk mencegah penyalahgunaan kekuasaan oleh penguasa. Cabang eksekutif, legislatif, dan yudikatif saling mengawasi dan seimbang satu sama lain.

Demokrasi menciptakan lingkungan yang mendukung pertumbuhan ekonomi yang inklusif dan berkelanjutan. Dalam demokrasi, kebijakan ekonomi dan sosial dirancang untuk memenuhi kebutuhan rakyat dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat.

Demokrasi mendorong akuntabilitas pemerintah terhadap rakyatnya. Pemerintah harus bertanggung jawab atas tindakan dan kebijakan mereka, dan transparansi dalam pengambilan keputusan publik diperlukan.

Demokrasi memberikan mekanisme penyelesaian konflik yang damai dan menghindari konflik yang bersifat kekerasan atau otoriter. Dengan partisipasi politik yang luas dan pengakuan hak-hak minoritas, demokrasi dapat memperkuat stabilitas politik dan perdamaian dalam masyarakat.

Demokrasi berusaha memupuk dan memperkuat nilai-nilai demokratis seperti toleransi, dialog, penghormatan terhadap perbedaan, keadilan, dan penghargaan terhadap pluralisme.

Jenis-Jenis Demokrasi

Dalam demokrasi representatif, warga negara memilih wakil-wakil mereka untuk mewakili mereka dalam pengambilan keputusan politik. Para wakil ini duduk di lembaga-lembaga pemerintahan seperti parlemen atau kongres, di mana mereka membuat keputusan atas nama rakyat. Pemilihan umum secara periodik diadakan untuk memilih para wakil ini.

Dalam demokrasi langsung, rakyat secara langsung terlibat dalam pengambilan keputusan politik. Rakyat secara langsung memberikan suara atau mempengaruhi keputusan politik melalui referendum atau inisiatif rakyat. Demokrasi langsung biasanya berlaku dalam skala yang lebih kecil, seperti dalam pemilihan lokal atau pengambilan keputusan komunitas.

Demokrasi parlementer melibatkan pemilihan umum untuk membentuk parlemen yang kemudian memilih kepala pemerintahan, seperti perdana menteri atau presiden. Kepala pemerintahan bertanggung jawab kepada parlemen dan harus mempertahankan kepercayaan mayoritas anggota parlemen. Demokrasi parlementer umumnya memiliki pemisahan kekuasaan antara eksekutif dan legislatif.

Demokrasi konsensus berupaya mencapai kesepakatan melalui dialog, negosiasi, dan konsensus di antara berbagai kelompok atau partai politik. Tujuannya adalah mencapai kesepakatan yang luas dan memperhatikan kepentingan semua pihak, termasuk minoritas.

Demokrasi deliberatif menekankan pada diskusi dan pemikiran yang mendalam dalam pengambilan keputusan politik. Rakyat secara aktif terlibat dalam dialog dan debat mengenai masalah publik, dengan harapan mencapai pemahaman yang lebih baik dan mencapai kesepakatan rasional.

Demokrasi elektronik, atau e-demokrasi, menggunakan teknologi informasi dan komunikasi, khususnya internet, untuk meningkatkan partisipasi politik dan pengambilan keputusan. Ini melibatkan pemungutan suara elektronik, konsultasi online, forum diskusi, dan mekanisme partisipasi online lainnya.

PK ! O:Vì û [Content_Types].xml ¢(  ÌYËrÚ0Ýw¦ÿàñ¶ƒi›& ‹>V}d&é¨öÜÚ’Æ4ü}e�L ’±4í0X÷�{u$¦÷Ïem â9%³x’ŒãHJ³œ,gñ÷§O£›8â“”À,Þ�ïç/_LŸ¶x$G>‹WB°;„xº‚ó„2 ò—­J,äeµD§¿ðÐÕx|�RJ1uŒx>ý&TyÑ®ÄW\Ê<ˆ1�x!¿äÍÛu"#ÆÑûfh�}cÆŠ<ÅBbG’åÑÅ"O!£éº”ÙV—ïêö²HTðWuPdAðoéZìp47AÐ4±m˜Àjôç+߈th ÅäÌ…”Q3YÍÅÄ7$#‘¦š×ApôAðæŸ ¨ÿPQÆ}g?vâ £|ÂðáV>JD˜ÞúfÉHt)OašžOBör@êuxoQaœXØÕl˜ÞÑÁð‡¾dÁ1XN�;ëõæùÝ´g”NkÙ ÓÉÛ˜>À¯}|–¥±E?,�¬G^ÖnFý íCǘ ~4ÆbWv)‘#•Gá«œñ½b;2œ÷CccjÓwãkÅ.qNöáâó&aæØA¹�½‡1.†¡É†´�Fl¦SUà“‘è&餕�@Rȃ5uye��˜t(P‰Zw’Éx0‚£‰Q$œ{üãÉ$Ì<ô‚¦IÛ ü£€G±-À»µ4BÛPªm-�楽JœÒ¨Þ5q¤?ûoj:öÅ4…© !4yßU»³¤ï4çíÖw“ÑilÓ¦ï4ù׶Îs!"ï-h("¡€Þýw*ò^úî©®½ë×މ齆{ï8½xo1N69ür4tlë& f³X´Vï0|Y•¼V¹‹¾Ó\¼ŸTé4çfí`ÿSZAÿ–¶ßÞÖ£/4ýÞÜ©VN)5L÷¢Tï’¿…ÑqÁH÷áHýý™¿VtlSÛÞwÿ:Í^ÛHýu5ÿ ÿÿ PK ! høt¡ â _rels/.rels ¢(  ¬’ÛJ1†ïß!Ì}7Û*"ÒloDè�Èú c2»ÝH¦Ò¾½¡àaa-‚½œÓ?_òÏz³w£x§”mð –U ‚¼Æú^Ásû°¸‘½Á1xRp ›æòbýD#rʃ�YŸÌñNʬr˜«É—J’C.aêeDý†=ÉU]ßÈôSš‰¦Øik®@´‡X6ÿG[:b4È(uH´ˆ©�%¶å-¢ÅÔ+0A?–t>vT…ä<Ðê¼@<ìÜ‹G;Π|Õª×Hýo@Ë¿…®³šîƒÞ9ò'홼!sÚ4Œñ“HN.³ù ÿÿ PK ! d@U/ù Ü ppt/slides/_rels/slide5.xml.rels¬’ÏJÄ0Æï‚ïænÒî®"²é^DXð¤ë„fš›?d²bßވȶ°®—Þf¾0ß÷c&ÛݧØ&²ÁK¨y}´õFÂÛáéæe嵂G #ìšë«í*—!êm$V\!¬+ÙÅP%ƒY硶êG_óè ˆó«%1|ÈH¯ƒÕs–“LâTßò²Â¿°ê%±è›èY�á˜g;šè$&M}‰l³$ÙÅ»m~ï&f²ù ÿÿ PK ! ×H¬ù Ü ppt/slides/_rels/slide4.xml.rels¬’MjÃ0…÷…ÞAÌ>’�˜RJälJ!�U›@Xc[ÄúA£”úöU)%6¤éÆ»™'æ½�mwŸv`Éx'¡ä0t�×ÆuÞ�/«G`””Ójð%ŒH°«ïﶯ8¨”‡¨7�Xvq$¡O)< AM�V÷]~i}´*å6v"¨æ¤:ë¢xqêõÌ“íµ„¸×`Ç1ääÿ½}ÛšŸ}s¶èÒ•alÎΆ*v˜$p.,j£~ô ®qc½$†ó ém0zÎr‘I\êŠçþ…U.‰EßD5úsšíh¢“˜4å-²jI²›w«~ï&f²þ ÿÿ PK ! H(ÅDø Ü ppt/slides/_rels/slide2.xml.rels¬’ÏJÄ0Æï‚ïænÒV‘M÷"‚'] 4Ó4ló‡LVìÛÙÖõÒÛÌæû~Ìd³ýt#ûÀD6x 5¯€¡ï‚¶ÞHxß?ß<

Offenbar hast du diese Funktion zu schnell genutzt. Du wurdest vorübergehend von der Nutzung dieser Funktion blockiert.

Wenn dies deiner Meinung nach nicht gegen unsere Gemeinschaftsstandards verstößt,

Demokrasi adalah bentuk sistem pemerintahan di mana kekuasaan politik dipegang oleh rakyat atau warga negara secara langsung atau melalui perwakilan yang mereka pilih. Istilah “demokrasi” berasal dari bahasa Yunani kuno, di mana “demos” berarti “rakyat” dan “kratos” berarti “kekuasaan” atau “pemerintahan”.

Dalam sistem demokrasi, rakyat memiliki hak untuk berpartisipasi dalam pengambilan keputusan politik, baik melalui pemilihan umum, referendum, atau mekanisme partisipasi lainnya. Prinsip dasar demokrasi adalah kedaulatan rakyat, di mana pemerintahan dijalankan sesuai dengan kehendak mayoritas dengan menghormati hak-hak minoritas.